Di Lereng Semeru, Aku Tersesat

100_1879

Sore hari (pukul 15.30, 1 juli 2013), waktu tiba di Kalimati, di bawah kaki Gunung Semeru

Teringat kembali, waktu itu …

Pukul 01.00, dini hari di perkemahan Kalimati ±2700 Mdpl, tepat di bawah kaki Gunung Semeru. Cuaca dingin menusuk-nusuk hingga ke tulang. Seorang kawan membangunkan aku yang tengah bersembunyi dalam tenda mungil, meringkuk di dalam sleeping bag menahan dingin, aku dalam tidur yang nyenyak. Dia bernama Adit, seorang kawan yang dulu seprofesi denganku. Dia lah yang mengajak aku mengikuti pendakian ini. Dia menggoyang-goyangkan ujung kakiku, sambil berkata menyuruhku untuk bangun karena waktunya summit attack.

Perlahan-lahan aku tersadar dan mulai merasakan goncangan di ujung kakiku. Tiba-tiba kata summit attack meluncur cepat melalui kedua telingaku dan menancap di otakku. Aku pun bertanya-tanya apa itu summit attack. Namun, sebagian pikiranku menolaknya dan berpikir bahwa rasanya aku belum cukup tidur malam ini. Rasanya aku baru saja tertidur dan sungguh tidak rela kalau aku harus bangun sekarang. Ditambah lagi cuaca dingin ini tak tertahankan, tidak ingin aku keluar dari sarang buatan ini. Namun goncangan di ujung kakiku semakin kuat, semakin aku mengabaikannya justru semakin terasa mengganggu. Aku pun menyerah dan mulai membuka mata, remang-remang aku melihat cahaya lampu senter menyorot dari kepala Adit.

Satu hal yang ingin segera aku ketahui dalam keputusasaanku merelakan waktu tidurku berakhir adalah jam berapa sekarang. Aku melihat jam tangan yang melingkar di lenganku, lalu kutekan tombol lampunya. Pukul 01.03, 02 Juli 2013. “Oh tidak, cuma 2 jam doang tidurku,” gerutuku dalam hati.

Segera aku mengambil lampu senter dari tas yang aku letakkan di samping kepala tempat tidurku dan memasangnya melingkar di kepalaku. Aku pun segera bangun dan bergegas keluar tenda. Brrrrr, dingin sekali. Kakiku seperti menginjak sebongkah es. Di luar tenda, ternyata sedang hujan rintik-rintik. Memang, semenjak awal berangkat dari Ranupani aku dan rombongan sudah berkali-kali diguyur hujan.

Kunyalakan lampu senter yang bercokol di depan jidatku. Sesegera mungkin aku mencari sepatuku, sebelum ujung-ujung jari kakiku membeku. Untung saja, sepatuku aku taruh di dalam plastik agar tidak terkena air hujan.

Aku pun segera mengambil tas kecilku dan mengisi beberapa perbekalan berupa roti dan air minum. Lalu, aku bergabung dengan rombonganku mengikuti briefing bersama panitia sebelum melakukan summit attack.

Panitia menjelaskan apa itu summit attack dan bagaimana medan yang akan kita tempuh dalam summit attack ini. Dari sini aku baru tahu apa itu summit attack. Dari penjelasan panitia dapat aku ambil kesimpulan bahwa summit attack adalah perjalanan terberat untuk menaklukkan puncak gunung, perjalanan yang melewati medan paling berat, menguras tenaga, emosi, dan pikiran, bahkan resiko terbesarnya adalah kematian. Mendengar penjelasan ini, jantungku pun berdegup, rasa takut dan penasaran jadi satu.

Panitia pun menjelaskan bahwa tidak ada paksaan untuk mengikuti summit attack ini, jika memang badan tidak dalam kondisi fit maka jangan dipaksakan ikut. Salah seorang panitia mengatakan, “Jangan turuti rasa penasaranmu hingga kamu membahayakan dirimu sendiri!” Panitia juga menjelaskan bahwa jika dalam perjalanan merasa sudah tidak kuat lagi, maka jangan memaksakan untuk melanjutkan, lebih baik bilang sama panitia dan panitia pun akan mengantarkan turun ke perkemahan.

Briefing pun berlanjut kira-kira sampai setengah jam. Tata tertib pun dijelaskan secara detail oleh panitia, salah satunya adalah jangan berpisah dari rombongan, jangan membentuk rombongan sendiri kecuali ada salah satu panitia di dalamnya, jangan sampai menyimpang ke area blank 75, dan jangan terlalu lama dipuncak (maksimal sampai jam 07.00 pagi) karena biasanya gas beracun mulai berhembus ke arah puncak di siang hari.

Blank 75 adalah nama dari sebuah jurang sedalam 75 meter yang terletak di sebelah timur laut dari puncak Mahameru, diluar jalur di sebelah kanan Arcopodo / Kelik (dari arah puncak) dan secara administratif TNBTS letaknya di blok Tawon Songo, dusun Pasrujambe, Kabupaten Lumajang. Gambaran medannya adalah lereng berpasir yang jalurnya putus (blank) karena dipisahkan oleh jurang yang dalamnya sekitar 75–100 m.

Briefing pun ditutup dengan doa. Beberapa dari temanku tidak ikut dalam summit attack ini karena kondisi badannya tidak fit. Sementara aku dan teman-teman yang lain mulai melangkah meninggalkan perkemahan Kalimati.

Kira-kira pukul 01.35 kami melangkah dalam gelapnya malam dan rintik hujan yang enggan berhenti. Hanya sorot lampu-lampu senter yang menerangi jalan kami. Aku mendongak ke langit, sedikitpun tak terlihat bintang dan bulan.

Lalu aku mendongak ke arah lereng Semeru, di sepanjang jalur pendakian terlihat sorot lampu-lampu senter bertebaran. Sempat aku berpikir pemandangan ini seperti sebuah kota, ya, sebuah kota Semeru, karena banyaknya sorot lampu senter para pendaki malam ini.

Meskipun ini adalah pengalaman mendakiku untuk yang pertama kali, tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hatiku. Ku tegakkan badanku, aku melangkah dengan mantap dan penuh keberanian  ingin menaklukkan gunung tertinggi di pulau Jawa itu. Apalagi melihat banyak sekali rombongan pendaki lain malam ini, semakin membuatku percaya diri. Entah kemana, rasa takut dan ciutku yang aku rasakan sewaktu briefing tadi. Rasa takut akan resiko besar yang menunggu dalam summit attack ini tiba-tiba lenyap begitu saja dari dalam jiwaku. Dalam derap kakiku melangkah dan degup jantungku yang semakin kencang, hatiku berkata, “Akan kujejakkan kakiku di atas Mahameru dan akan kutatap Matahari yang membuka tabir gelap semesta ini!”

Langkah pun tak mau berhenti dalam semangat berapi-api. Hujan rintik-rintik yang membasahi pun aku tak peduli, seolah sudah menjadi temanku. Dingin pun tak terasa lagi, sebab gerak tubuh ini membakar nutrisi menghasilkan energi yang menghangatkan tubuhku. Aku dan rombonganku telah melangkah jauh meninggalkan perkemahan, menyusuri padang rumput Kalimati. Dan kini, aku memasukki hutan cemara.

Hutan cemara ini sangat curam, tanahnya berdebu, dan mudah longsor. Namun, karena malam itu hujan, tanahnya tidak berdebu tetapi menjadi becek dan licin. Perlu ekstra hati-hati melewati hutan ini, ditambah lagi beberapa bagian di samping jalan setapak yang aku lewati adalah jurang. Banyak juga pohon-pohon cemara yang sudah tumbang, akar-akarnya mencuat ke atas dan menutupi jalan. Namun, terkadang akar-akar pohon cemara ini aku jadikan pegangan untuk membantu melewati medan-medan yang sangat curam.

Di hutan cemara inilah rombonganku mulai terpisah menjadi kelompok-kelompok kecil. Sebab, sudah ada yang mulai kelelahan, ada yang sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan, dan ada juga yang ingin istirahat terlebih dahulu.  Sementara aku dan enam orang lainnya berada pada barisan terdepan daripada rombonganku lainnya. Ada tiga orang panitia di dalam rombongan kecilku ini. Aku tak mau berhenti, bagiku, berhenti justru akan membuat aku kedinginan dan aku pikir keenam temanku ini juga sependapat denganku.

Tak terasa sampailah aku dan keenam temanku diujung penghabisan batas vegetasi, dan mulai masuk medan berpasir dengan tingkat kemiringan yang sangat ekstrim. Salah seorang temanku (Junay, salah satu dari panitia) bilang bahwa inilah perjuangan yang sesungguhnya.  Temanku yang lain (Cecep) yang juga panitia menambahkan bahwa tanah berpasir ini akan sangat melelahkan perjalanan kita karena setiap diinjak akan merosot. Melangkah 50 cm namun hanya berpindah 20 cm karena merosot.

Pas di titik bernama cemoro tunggal, aku dan rombonganku memutuskan untuk istirahat sebentar. Kira-kira jam 02.30 pagi kami berhenti, kami minum dan makan perbekalan kami. Hujan pun semakin reda, meski masih terlihat sedikit rintik hujan melewati sorot lampu senter. Aku melihat ke atas ke arah puncak Mahameru yang terlihat masih sangat tinggi sekali. Lerengnya begitu curam dan berpasir.

Setelah istirahat sebentar, dua orang dari rombonganku mulai berjalan mengambil arah agak ke sisi kanan. Mereka berdua adalah Ihsan dan Adit. Beberapa saat kemudian, entah kenapa Cecep pun mulai berjalan tetapi mengambil sisi agak ke kiri dari tempat istirahat kami. Lalu aku pun bingung, mau mengikuti yang mana, kanan atau kiri. Tiba-tiba Bang Dimas bilang kepadaku kalau kita mengikuti Cecep saja, karena sepengetahuan Bang Dimas, Cecep sudah pernah sampai puncak sekali. Maka, aku pun segera mengikuti di belakang Bang Dimas. Disusul kedua temanku lainnya, Pak Deden, dan Junay.

Awalnya aku merasa biasa-biasa saja. Tetapi melihat dua temanku Ihsan dan Adit yang semakin hilang dan jauh di sebelah kanan, aku merasa sedikit muncul keanehan. Apalagi medan yang aku lewati bersama keempat temanku ini mulai tidak ada bekas jejak manusia. Jadi benar-benar baru jejak kami berlima yang menapaki lintasan tersebut. Namun, Cecep terus melangkah ke arah atas, kami pun mengikutinya di belakang.

Medan lintasan pun semakin sulit, tanah yang aku injak semakin keras, bukan tanah berpasir yang gembur karena sering dilewati manusia seperti di Cemoro Tunggal tadi. Ditambah medan yang terjal sehingga ini sulit sekali untuk dijadikan pijakkan kaki, merosot dan tak terhentikan. Gundukan-gundukan batu yang cukup besar dan tinggi menunggu kami di bagian atas jalur ini, semoga batu-batu itu tidak runtuh saat dilewati nanti.

Tanpa disadari, untuk menghindari gundukan batu-batu besar dan kemiringan yang mengerikan, aku dan keempat temanku ini semakin menjauh ke kiri dari jalur pendakian yang benar karena mencari medan yang lebih mudah dilewati. Tanpa disadari pula, ternyata di sebelah kanan kami terdapat bekas aliran sungai lahar yang dalam, lebar, terjal dan keras. Tidak mungkin aku dan temanku untuk melewatinya sebab pasti akan terjungkal dan terperosot ke jurang bawah.

Sepertinya kita salah jalur, begitu pikirku. Setiap aku mendongak ke atas mengikuti sorot lampu senter di kepalaku, aku bertanya-tanya dalam hati “Bagaimana mungkin aku bisa melewati gundukan-gundukan batu yang besar dan terjal itu?”

Beberapa saat kemudian, setelah melalui beberapa gundukan batu yang cukup sulit, Cecep mengatakan kalau kita salah jalur. Dia mengatakan bahwa seharusnya tadi kita ambil jalur yang sisi kanan. Kami pun berhenti, bingung antara melanjutkan melewati jalur ini atau kembali. Satu-satunya jalan kembali adalah kembali ke bawah, karena tidak mungkin melewati bekas aliran sungai lahar ini. Namun, ketika kami melihat ke arah bawah kami, jalur begitu curam, “oh tidak, ini di atas blank 75!” bisikku.

Aku menoleh ke bawah lalu ke kanan. Lalu aku mengatakan pada mereka bahwa tidak ada satu pun orang yang mengikuti jalur ini, semua orang berada jauh di sebelah kanan, hanya kita berlima yang tersesat.

Pak Deden mengatakan bahwa sepertinya tidak mungkin kita kembali ke bawah, terlalu terjal dan beresiko, dia bilang kita bisa terperosot, terjungkal, dan jatuh ke jurang. Bang Dimas menambahkan kalau kita ke bawah itu lebih sulit daripada kita tetap jalan ke atas. Aku pun menyetujui pendapat itu, begitu juga Junay yang tengah berdiri di belakang Pak Deden menahan tubuhnya agar tetap doyong ke depan sehingga tidak terjungkal ke belakang. Cecep pun juga menyadari akan bahaya itu. Akhirnya, tidak ada pilihan lain kecuali melanjutkan perjalanan melewati jalur yang sudah kami pilih.

Namun, Cecep bilang bahwa tanah di depan kami tidak bisa diinjak begitu saja. Dia mengatakan bahwa tanahnya terlalu miring dan keras, sehingga kita harus membuat lubang-lubang pijakan kaki menggunakan ujung tongkat kita agar tidak terperosot waktu berpijak.

Akhirnya kami pun membuat lubang-lubang pijakan kaki pada dinding lereng gunung Semeru. Lubang-lubang ini tidak cukup dibuat oleh satu orang yang paling depan saja, lalu yang belakang tinggal menginjaknya. Lubang-lubang yang kami buat akan hancur setelah kami injak, sehingga, masing-masing dari kami akan menggali lubang pijakannya sendiri. Kami pun harus berjuang menjaga keseimbangan badan kami di medan yang sangat miring ini agar tidak terjungkal ke belakang.

Rasanya ingin teriak untuk minta tolong, tetapi apa daya, jarak yang begitu jauh dengan orang-orang yang berada di jalur yang benar memaksa kami untuk tetap diam. Percuma saja teriak tidak akan terdengar oleh mereka. Untungnya, Cecep membawa lampu SOS, yang lalu dia nyalakan dan digantung di bagian belakang tasnya. Lampu SOS ini berkedip-kedip terang. Berharap ada teman-teman dari rombongan kami bisa menolong kami.

Hujan pun tiba-tiba berhenti. Langit pun terlihat cerah bertabur bintang. Tak terasa satu jam telah berlalu. Kedua kakiku mulai terasa kebas karena terlalu lama menahan tubuh agar tak terjatuh pada medan yang sangat curam ini. Aku hanya takut kaki ku kram.

Udara dingin pun mulai terasa menyelubungi tubuhku lagi. Sangat dingin, sampai-sampai nafasku seperti berasap ketika kuhembuskan.

Aku dan keempat temanku tetap bertahan, melanjutkan perjalanan yang begitu sulit ini. Terkadang batu kerikil-kerikil kecil runtuh setelah diinjak, dan menimpa orang yang di belakangnya. Terkadang kami harus bergantian menaiki suatu undakan batu yang cukup sulit, lalu satu per satu gantian menarik teman yang berada dibelakangnya dengan tokat.

Perjalanan ini benar-benar seperti menampakkan sifat kami. Cecep yang paling depan adalah tipe orang yang optimis dan pemberani, selalu terdepan menaklukkan rintangan-rintangan di depan kami dan lalu memberi bantuan teman-teman yang berada di belakang.

Bang Dimas di urutan kedua, adalah tipe orang yang humoris dan mendamaikan. Dia selalu bercerita padaku tentang hal-hal lucu. Tentang nanti setelah pulang dari Semeru mau ngapain aja. Bisa dibilang Bang Dimas ini selalu menghiburku, mungkin itu satu-satunya cara agar hati dia juga tenang menghadapi kondisi seperti ini.

Aku diurutan ketiga setelah Bang Dimas, adalah tipe orang yang lebih suka diam dan  berbicara di dalam otakku sendiri. Aku memikirkan tentang mengapa, apa, dan bagaimana seharusnya aku bisa selamat. Aku memikirkan hal-hal yang mungkin akan menjadi sebuah kisah petualangan hebat jika aku selamat nanti. Tetapi, sesekali aku menyahut candaannya Bang Dimas.

Sementara Pak Deden di urutan ke empat dan Junay paling belakang, kedua orang ini menurut aku setipe, dua-duanya tipe orang yang religius. Hampir setiap langkahnya menyebut nama Tuhan. Mungkin di hati kedua orang temanku ini selalu berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan malam ini. Suara-suara dzikir lirih pun selalu terdengar dari bibir kedua temanku ini. Namun, terkadang juga istighfar dengan suara yang lebih keras, saat kaki mereka terperosot.

Aku pun bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa aku tidak menanyai Cecep dulu tadi sewaktu di Cemoro Tunggal, setidaknya aku bertanya pada dia yakin tidak dengan jalur yang akan dipilih dia, karena dia baru sekali pernah sampai di puncak Semeru. Kenapa aku tadi tidak menanyakan panitia inti bahwa di jalur naik pun kita bisa tersesat. Kenapa aku tidak bertanya pada Ihsan kenapa dia pilih jalur agak ke kanan. Aku juga bertanya-tanya, kenapa aku tidak cari-cari info dahulu di Google akan bahaya pendakian ini. Kenapa aku hanya mengikuti rasa ingin tahuku dan penasaranku ingin menaklukkan gunung tertinggi di pulau Jawa ini pada pendakian pertamaku ini. Kenapa oh kenapa?

Seharusnya aku bertanya pada Mr. Google tentang pengalaman orang-orang yang pernah mendaki Semeru, mungkin pernah tersesat seperti ini. Mungkin, jika aku sudah bertanya pada Mr. Google, aku tidak akan terjebak pada kondisi yang mempertaruhkan nyawaku ini. Oh tidak, penyesalan selalu datang terlambat.

Namun, pertanyaan-pertanyaan itu segera aku usir dari pikiranku. Aku harus seperti Cecep yang selalu optimis. Aku harus seperti Bang Dimas yang selalu ceria dan banyak cerita-cerita lelucon. Aku harus seperti Pak Deden dan Junay yang berserah diri pada Tuhan setelah berusaha.

Tiba-tiba, suara gedebuk, dan teriakkan Pak Deden memecah ketenangan pikiranku menjadi kaget dan takut yang luar biasa. Aku menoleh ke belakang, Pak Deden jatuh terperosot saat menaiki gundukan batu. Untung saja posisi Junay bisa menahan terjangan Pak Deden yang terperosot. Kaki Pak Deden pun mengalami kram, meskipun tidak terlalu parah. Maka kami berhenti sebentar agar kaki Pak Deden bisa digerakkan lagi.

Perjalanan pun dilanjutkan. Namun, sekarang semakin lambat, medan yang kami hadapi semakin sulit ditambah lagi kaki Pak Deden yang masih sakit.

Dua setengah jam pun berlalu. Sungguh sangat bersyukur kepada Tuhan, jalur yang kami lewati ini mendekat ke jalur pendakian yang benar. Meski masih dipisahkan oleh bekas aliran sunga lahar. Namun relatif tidak terlalu lebar. Dan untungnya lagi, kami melihat salah satu teman kami yang berada di jalur pendakian yang benar, Arul namanya. Kami melihat ada kain merah terbelit di lengannya sebagai tanda pengenal rombongan ini, meski pagi itu masih remang-remang. Kami pun berteriak memanggilnya. Cecep pun mengangkat lampu SOS nya dengan tangan, diacung-acungkan ke depan sambil berteriak.

Sepertinya Arul dari kejahuan merespon dan menyadari kalau kami ini butuh pertolongan dan serombongan dengan dia. Dia juga salah satu dari panitia.

Aku dan keempat temanku berhenti di posisi itu, menuggu Arul mendekat. Dalam hatiku ada sedikit kecemasan akan bisa tidaknya Arul menolong kami.

Setelah Arul mendekat, dia mengatakan bahwa dia dari tadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri ketika melihat lampu SOSnya Cecep dari kejauhan. Dia sudah curiga kalau lampu SOS ini milik Cecep.

Akhirnya Arul mengeluarkan tali untuk menyelamatkan kami. Salah satu ujung tali itu dilempar ke kami, sementara ujung lainnya ia pegang erat.

Sebelum melompatti bekas aliran lahar ini kami membuat lubang pijakan kaki di dindingnya yang agak lebih dalam dari tempat kami berdiri. Satu per satu dari kami melompati bekas aliran lahar ini sambil berpegangan tali. Penyelematan pun berhasil.

Setelah melompati bekas aliran lahar itu, aku istirahat sebentar untuk minum dan makan roti bekalku yang berada di dalam tas. Tidak lama aku pun melanjutkan perjalanan. Jalur pendakian yang ini lebih mudah dilewati meskipun curam juga. Pasirnya gembur, jadi bisa dijadikan pijakan daripada jalur yang sebelumnya.

Setelah beberapa saat kemudian, Pak Deden bilang padaku, dia mengajak untuk ibadah dahulu, karena ini memang waktunya ibadah pagi (Subuh). Aku pun berhenti di lereng Semeru untuk melakukan ibadah Subuh.

Kira-kira tiga puluh menit setelah selesai ibadah, ternyata langit sudah tampak cerah, Matahari sudah mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Aku pun mengambil beberapa fotonya, bergantian dengan Pak Deden.

100_1886

Ini aku berada di Lereng Gunung Semeru

100_1887

Aku berusaha berdiri tegak di medan yang sangat curam

100_1885

Ini Pak Deden

 

Setelah mengambil beberapa foto, aku pun melanjutkan perjalanan ke puncak Mahameru.

Kira-kira pukul 06.50 pagi, aku tiba di puncak Semeru yang bernama Mahameru. Akhirnya aku bisa menjejakkan kakiku di puncak tertinggi Pulau Jawa. Namun sayang, waktu sampai di puncak terjadi badai. Awan kabut pun menyelimuti aku dan rombonganku.

Di puncak yang sedang badai ini suhunya sangat dingin, di bawah nol derajat celcius mungkin, karena kabutnya ini seperti butiran salju. Jari-jari tanganku rasanya membeku, susah sekali digerakkan.

100_1898

Puncak Semeru, 3676 Mdpl

Lega rasanya, aku bisa menaklukkan Puncak Mahameru untuk pendakianku yang pertama kali. Tetapi ada sedikit sedih dalam hatiku karena tidak bisa melihat keindahan dari Puncak Mahameru yang terselimuti badai ini. Semoga di pendakian berikutnya aku bisa melihat keindahan di Puncak Mahameru dan TIDAK TERSESAT LAGI.

…….

Begitulah kisah perjalananku ketika melakukan pendakian untuk yang pertama kali. Semoga bisa menjadi inspirasi teman-teman pembaca semua. Aku ingin berpesan kepada teman-teman pembaca sebelum bepergian ke suatu tempat:

  1. Tanyakan kepada teman-teman anda atau siapa pun yang pernah bepergian ke tempat itu, tentang kondisi, dan hal-hal yang mungkin harus menjadi perhatian anda ketika anda berada di tempat itu.
  2. Tanyakan kepada Mr. Google (googling) informasi-informasi tentang tempat yang akan anda kunjungi.
  3. Luangkan waktu untuk membaca hasil googling anda tentang pengalaman orang-orang yang telah menulis dalam blog tentang pengalamannya ketika mereka mengunjungi tempat yang akan anda tuju.

Jangan malu bertanya kepada siapapun sebelum melakukan perjalanan, sebab MAU BERTANYA, NGGA SESAT DI JALAN. Cukup aku dan keempat temanku saja yang mengalami pengalaman tersesat di Semeru ini.

Akhir kata, terima kasih telah berkunjung dan membaca certita di blog-ku ini. Semoga Tuhan selalu melindungi teman-teman pembaca semua di manapun anda berada.

Salam,

Aku yang menunggu-nungu komentarmu.

61 thoughts on “Di Lereng Semeru, Aku Tersesat

  1. Ardiansyah says:

    Cerita ini membuat jantung saya berdebar-debar. Sebuah pengalaman yang menarik dan luar biasa. Semoga sukses terus gan!

  2. aroel anjani says:

    Waktu ngeliat lampu SOS itu dari bawah serasa ngeliat mantan ngajak balikan …. jadi lari lari diatas pasir gak terhiraukan … hehehheheee

    Thanks ..

  3. Novan Susanto says:

    Tahun ini saya berencana ke Semeru gan. Thanks sharing pengalamannya gan bisa buat bekal saya nanti di sana… 👍😆

    • Iya gan sama2, semoga perjalanannya menyenangkan, jangan sampai tersesat. Hahahha
      Oh ya, saran saya kalo ke Semeru jangan pas musin hujan, kurang bisa menikmati keindahan. Karena di sana akan sering diguyur hujan dan banyak kabut.
      Ambil saja di awal2 musim kemarau, karena di pertengahan atau akhir musim kemarau jg ada bahaya kebakaran hutan di sana.

  4. akyuni says:

    Kak okky luar biasa.congratulation buat pendakian pertama mendaki gunung tertinggi dijawa.membaca saja rasanya tegang,dan seolah ikut merasakan mendaki.luar biasa.

  5. nerissa says:

    Keren banget ceritanya 👍 Tata bahasa dan penggunaan setiap kata-nya pas banget. Buat pembaca ikut larut ke dalam cerita, berasa ngalamin juga 👏

  6. Faisal says:

    Semeru memang memiliki sejuta misteri gan. Ikut seneng akhirnya bisa selamat dari kejadian itu. Salut dengan perjuangannya…

  7. arief says:

    very interesting story. You were in the highest peak of Java island. Something that really worthy to be proud of….hehehehehehe

  8. Alfredo Lesmana says:

    Sebuah kisah yg menegangkan, seru, dan tata bahasanya mebuat pembaca larut di dalam cerita. Sukses untuk lomba blognya.

    • Iya gan, sangat bersyukur bisa kembali dari sana dg selamat, maka dr itu saya ingin berbagi cerita agar teman2 bertanya (mencari info) sebelum pergi ke suatu tempat.
      Ga ada gan, di sana ga ada geyser, cuman pemandangannya aja yg super2 amazing, indah banget.
      Thanks gan sudah berkunjung. Ok, siap berkunjung ke blog agan.

  9. nunuiey says:

    Alhamdulillah mas okky dan rombongan selamat dan berhasil sampai puncak,kerja sama yang luar biasa..jujur,aku bacanya aja kaki ampe terasa kram,nggak kebayang saat itu seperti apa.tapi,keren banget sumpah!!semangat!!semoga pendakian selanjutnya sukses dan diberikan keselamatan.amiin.

  10. Irsa says:

    Seruuu baca ceritanya. Baru 3 minggu lalu darisana
    Hampir nyerah sama medannya
    Tapi alhamdulillah nyampek juga
    Salud sama team ini

  11. Explore gunung says:

    Malam kak, ijin share pengalaman nya di instagram @exploregunung_ boleh? Jika diperkenan kan nama IG nya apa ya kak? Biar nanti saya tag narasumber nya

Leave a reply to misael willkin Cancel reply